Toleransi antarumat Berbelanja


Toleransi antarumat BerbelanjaMinggu lalu, saya membawa serta anak, istri, dan keponakan ber-JJS ke mall terbesar di kawasan Surabaya Barat. Tujuannya satu: nobar film Hobbit yang konon katanya proses produksinya melibatkan seorang animator dari tanah air.

Memenuhi rengekan anak, sebelum nonton kami pun berhenti sebentar di sebuah restoran cepat saji. Sepanjang menunggu hidangan, mata itu akhirnya berbelanja ke sana ke mari; mengamati tingkah polah dan ragam pakaian yang dikenakan para pengunjung  mall itu.

Sangat variatif. Kaum muslimah (saya yakini seperti itu sebab terlihat mereka mengenakan kerudung) berpakaian dengan model sesuai keyakinan masing-masing. Ada yang menutup rapat tubuhnya dan mengenakan burqa di wajahnya. Ada pula yang menutup rambutnya dengan hijab,  tapi jika melihat bagian bawahnya, masya Allah, lekuk bagian sensual dari tubuhnya masih tampak secara kasatmata.


Umat yang berbelanja lainnya sore itu juga tak kalah hebohnya. Sampai-sampai, saya agak sulit membedakan apakah mereka ini sedang beraktivitas di hadapan publik ataukah hendak melakukan perbuatan intim dengan pasangannya masing-masing. Maklum, mereka berada di kawasan mall itu hanya mengenakan celana pendek, mungkin lebih tepatnya disebut cawat, dan kaus tanktop saja.

Saya harus menahan diri agar tidak nyinyir dengan pemandangan yang saya saksikan sore itu. Cukuplah saya nyinyir kepada anak dan istri saya saja. Sebaliknya, saya juga harus menerima sikap nyinyir anak dan istri saya atas segala sikap dan tindakan yang saya lakukan.

 
TERKAIT:  Kisah Raja dan Pembantu Setianya

Tidak enak memang. Tapi, kami telah berkomitmen bahwa sikap nyinyir di antara kami akan menyelamatkan kami dari segala prahara kehidupan dunia walakhirat. Sementara di mall ini, sebagai sesama umat yang sedang berbelanja, tak apalah saya junjung tinggi sikap toleransi antarumat berbelanja.