Penyesalan


Penyesalan’’Seringkali emosi tercurahkan pada orang yang kita cintai. Dan penyesalan baru tiba setelah orang yang kita cintai itu tiada,’’

Secarik kalimat itu yang terambil dari kisah berikut. Sebut saja Ani, perempuan cantik dengan karakter manja. Sedangkan Iwan sosok lelaki sabar dan cenderung ngemong kepada sosok yang dicintainya.

Suatu saat di belakang ruang dosen, Ani dan Iwan sedang terlibat percakapan serius. Ani yang berwatak keras manja menilai Iwan sebagai penyebab kegagalannya bertemu dosen pembimbing pagi itu. Ani diminta dosen datang ke kampus pukul 09.00. Tapi Iwan menjemputnya di kos 30 menit sebelumnya. Padahal perjalanan dari kos menuju kampus butuh waktu 45 menit. Itu pun jika kondisi lalu-lintas lapang.


Alhasil, Ani pun terlambat menemui Prof. Dr. Roby Simbolon, dosen yang dikenal killer. Acara bimbingan skripsi yang sudah dipersiapkan semalaman pun batal. Pantas jika Ani kecewa dan menumpahkan kemarahan itu kepada Iwan.

Sebaliknya, bibir Iwan terlihat ingin menyela pembicaraan Ani yang terus nyerocos. Namun dia urungkan. Di benaknya hanya ingin melihat kekasihnya puas dan lega. Setidaknya itu yang biasa dirasakan seseorang seusai marah.

 

Iwan hanya terdiam menunduk. Dia tidak ingin melakukan pembelaan mengapa terlambat menjemputnya. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana meredam emosi Ani dan membuat perempuan yang dicintainya itu tersenyum kembali.

Perlahan, suara Ani mulai lirih. Dia menangis dan mengayunkan keningnya ke dada kekasihnya. Iwan pun menyambut sambil memeluknya. ’’Maaf. Aku tidak akan terlambar lagi. Aku janji,’’ hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Iwan. Sementara Ani masih terus menangis. Dia khawatir skripsi tidak selesai. Padahal ujian pendadaran tinggal hitungan hari.

Iwan terus berusaha menenangkan. Sikapnya yang dewasa mampu meredakan suasana yang sempat panas. Perlahan Iwan mengangkat dagu Ani hingga dia menengadah ke atas. ’”Aku bangga padamu sayang. Yakinlah, masih ada esok dan skripsi ini pasti selesai,’’ ujarnya.

Kalimat itu membuat Ani sedikit tenang. Ada rasa penyesalan telah meluapkan emosi kepada pria yang dia cintai. Namun, rasa malu untuk meminta maaf tetap menyelimuti perempuan berusia 21 tahun itu. Iwan tersenyum sambil membelai rambut Ani.

’’Sayang, maafkan aku. Aku menyesal,’’ ucap Iwan mengulangi kata maaf untuk yang kedua kali. Ani tetap terdiam. Dia hanya menganggukkan kepala. Selanjutnya sepasan kekasih itu beranjak pergi. Mereka menuju mobil dan menghilang dari area kampus tersebut.

TERKAIT:  Tulus

Mobil Honda Jazz warna putih pun melaju kencang. Tidak lebih dari 45 menit, mobil yang mengantarkan Iwan dan Ani pun tiba di kos. Dengan wajah kecewa, Ani bergegas masuk ke kamar tempat dia berteduh sehari-harinya. Sementara Iwan masih berada di depan kamar. Tidak ada ucapan mempersilakan masuk sama sekali dari Ani. Rasa menyesal dan kecewa masih menyelimuti. Permintaan maaf yang disampaikan Iwan ternyata belum membuat seluruh emosinya reda.

Bagi Iwan, peristiwa seperti ini bukan kali pertama. Di bersandar di mobil hasil jerih payahnya yang parker di depan kos Ani. Sejenak, pria itu menghela nafas panjang. Dia teringat dua hari sebelumnya, Ani juga memarahinya. Penyebabnya sepele, dia tidak menyukai makanan yang dibawakan Iwan untuknya. Padahal, Iwan harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan makanan tersebut. Bukannya terima kasih, tapi muka masam yang dia dapat dari kekasihnya.

Masih banyak peristiwa lain yang terkadang membuat Iwan jengkel. Namun, dia terus berusaha sabar. Memahami apa yang diinginkan kekasihnya. Menyelami karakter perempuan yang dia pacari sejak setahun lalu. Kesabaran yang membuatnya kuat. Kesabaran yang membuatnya bertahan.

’’Kamu pulang aja. Aku lagi ingin sendiri,’’ tiba-tiba suara itu muncul dari dalam kamar. Iwan pun terbangun dari lamunan itu. Dia berjalan mendekat ke pintu kamar. Maksud hati ingin menenangkan hati Ani. Tapi harapan itu sirna. Justru dengan lantang Ani mengusir Iwan. ’’Pergi, cita-citaku gagal karena dirimu. Percuma menjadi kekasih kalau tidak bisa mengayomiku,’’ ungkapan yang membuat Iwan terkejut.

Bergegas dia masuk ke mobil. Diambilnya pena dan kertas yang berada di dashboard warna hitam. Dia torehkan seluruh ganjalan hati. Tidak lama, dia pun pergi dari kos tempat kekasihnya beristirahat.

Kegalauan membuatnya tidak berkonsentrasi memegang kemudi. Sementara mobil terus melaju. Pikiran yang kacau membuatnya tak sadar sebuah truk parkir didepannya. ’’Braaakk…’’ seketika itu mobil menghantam bagian belakang truk itu. Seketika Iwan terkapar dan menghembuskan nafas terakhirnya.

TERKAIT:  Kepasrahan kepada Tuhan

Di sisi lain, Ani sedang berada di dapur. Dia ingin melampiaskan kekecewaannya dengan kegiatan memasak. Memang, sejak berada di bangku SMA, memasak adalah hobinya.

’’Triiiit… triiit..,’’.. Hp Ani berbunyi di tengah kesibukannya memasak. Dia tidak mempedulikannya, sebab yakin bahwa telepon itu berasal dari Iwan. Dengan sikap cuek, Ani berlagak tidak mendengar dering Hp tersebut.

Setelah berkali-kali berbunyi, akhirnya dia mengambil Hp yang berada di ranjangnya. Nomor tak dikenal membuatnya bertanya siapa yang menelepon dirinya. Perlahan dia mencoba mengangat. Terdengarlah suara yang memintanya datang ke rumah sakit. Sang penelepon tidak memberi tahu ada kabar apa. ’’ Kami tunggu di lobi ya mbak, secepatnya,’’ ucapn penelepon yang tidak lain adalah polisi.

Bergegas Ani berganti pakaian dan menuju ke rumah sakit yang dimaksud. Di dalam taksi yang mengantarkannya, Ani mulai gelisah. Siapa penelepon itu, lalu mengapa dia meminta datang ke rumah sakit. Apakah ini hanya sekadar penipuan, atau ada seseorang kerabatnya yang sakit. Sepintas dia teringat Iwan.

Ya.. Iwan,, dimana Iwan.. Ani pun mencoba menelepon Iwan. Namun berkali-kali tidak ada yang mengangkat. Hal itu membuat Ani semakin marah. Prasangka buruk pun muncul. ’’Jangan-jangan kamu jalan sama perempuan lain. Awas nanti kalau ketemu,’’ ujarnya dalam hati.

Tidak lebih dari 20 menit, Ani pun tiba di rumah sakit yang dimaksud sang penelepon. Dia segera menuju lobi sambil menelepon nomor tak dikenal tadi. Beberapa nada sambung muncul dan akhirnya.. ’’Halo, anda dimana,’’ ucap pria tersebut. Ani pun nyerocos..’’Anda siapa, jangan main-main dengan saya,’’ketus Ani.

’’Maaf bu, saya Iptu Harna, dari kepolisian. Saya di ruang informasi,’’ suara itu membuat Ani terkejut. Baru kali ini dia berurusan dengan polisi. Tidak tahu masalah apa yang membuatnya harus bertemu korps baju coklat itu. Ani pun mempercepat langkah menuju ke ruang informasi.

Bertemulah dia dengan Iptu Harna yang meneleponnya dari tadi. ’’Ada apa bapak. Apa urusan bapak dengan saya,’’ ucap Ani. Pelan Iptu Harna menyerahkan kunci, STNK, dan dompet milik Iwan. ’’Kami turut berduka cita, pria pemilik dompet ini meninggal karena kecelakaan. Di TKP kami temukan barang berharga milik korban, dan secarik kertas yang mungkin untuk anda,’’ ujar Iptu Harna. ’’Kini jenasahnya berada di kamar mayat. Mari saya antar ke sana,’’lanjut Harna.

TERKAIT:  Pertemanan

Jantung Ani berdegup kencang. Terkejut dengan berita yang baru saja didengarnya. Rasa lemas menyelimuti hingga lutut serasa tak bertulang. Namun dia tetap memaksa untuk melihat jenasah kekasihnya itu. Perlahan berjalan sambil dipapah Iptu Harna, Ani menuju ke kamar mayat.

Tubuh pemuda itu terbujur kaku tertutup kain. Air mulai keluar dari kelopak matanya. Nafasnya tak teratur. Dibukanya secarik kertas yang digenggamnya dari tadi. Ya.. kertas bertuliskan ungkapan hati Iwan sebelum dia meninggal. Perlahan dia membaca di depan jasad kekasihnya itu.

Tidak ada seorang pun yang ingat bahwa hari ini ulang tahunku. Sekalipun dia kekasih yang aku cintai. Sekian lama aku terus bersabar menyelami dan memahami karakternya. Tapi tak sedikitpun aku merasakan sebaliknya. Aku semakin tertekan, tapi justru itu yang membuatku bertambah sayang kepadanya.

Seandainya ada kesempatan, aku hanya ingin dia tahu. Aku memang terlambat. Tapi bukan karena ingin menggagalkan cita-citanya. Aku terlambat karena mempersiapkan acara makan siang di hari ulang tahunku. Salahkah jika aku juga ingin merayakan kebahagiaan bersamanya di hari ulang tahunku.

Semoga hari ini bukan kali pertama dia bersamaku. Sehingga masih ada waktu baginya untuk membahagiakanku. Karena aku juga manusia yang ingin dimanjakan….

Seketika itu, Ani berteriak. Dia baru ingat, hari itu, Iwan berulang tahun. Selama ini, Iwan selalu membawakan kado terindah saat dia berulang tahun. Tapi sebaliknya, Ani justru memarahinya. Bahkan sempat memintanya pergi dengan alasan ingin sendiri. Rasa bersalah mulai menggelayuti. Sifat manja membuatnya ingin selau dibahagiakan. Tapi tanpa sadar justru sikap itu menyiksa batin kekasihnya.

Kini maut sudah menjemput. Waktu tak bisa diputar. Tidak ada kesempatan lagi untuk membahagiakannya. Hanya penyesalan yang tak terbayarkan. Baru tersadar, kemarahan yang ada di benak Ani selalu tercurah pada sosok Iwan. Kini dia telah pergi .. untuk selamanya..

’’Andai engkau hidup kembali,, ingin aku mencium kaki dan meminta maaf kepada mu. Aku sangat menyayangimu..Aku ingin tahu bahwa aku menyesal….’’