Pertemanan II


Pertemanan jugaHampir satu jam mengelilingi jalanan tapi tak kunjung mampir ke rumah makan. Perut mulai terasa lapar. Dalam hatiku mulai mengeluh. Jika niat menraktir, mengapa tidak segera mencari rumah makan. Jangan-jangan perempuan ini hanya membual. Aku mencoba bertahan mengikuti gerak-geriknya.

Terus berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah kedai kecil. ’’Aha, akhirnya ada warung makan,’’ gumamku. Ratih berlari meninggalkanku menuju kedai itu. ’’Sial.. kalau sudah ketemu warung jadi tidak ingat temen,’’ ujarku sambil mengejarnya.

Sesampainya di kedai, Ratih bertanya kepada sang pemilik. ’’Maaf ada toiletnya ndak?,’’ katanya. Aku terkejut dengan pertanyaan itu. ’”Ada di belakang,’’ jawab lelaki tua penjaga kedai itu.


’’Makasih pak, pacar saya tidak kuat nahan pipis,’’ sahut Ratih sambil menolehkan kepalanya ke arahku. Spontan, orang yang berada di kedai itu melihatku. Belum sempat aku membantah, tangan perempuan itu sudah bersarang di perutku. ’’Aww.. sakit,’’ teriakku.

’’ Ya udah, buruan kalau sakit. Mumpung ada toilet,’’ katanya tanpa merasa bersalah. Aku menolak tapi si pemilik kedai menghampiri dan mengantarkanku menuju toilet. ’’Sial, untuk kesekian kali aku dikerjai sama perempuan ini,’’ kataku lirih.

 

Terpaksa aku mengikuti lelaku tua itu menuju toilet. Lumayan bersih jika dibanding toilet umum di yang ada di beberapa ruas jalan. Aku hanya mencuci muka di dalam toilet itu.

Tidak lebih dari lima menit, akhirnya aku keluar. Kulihat Ratih duduk di salah satu kursi di kedai itu. Di mejanya terdapat kertas bungkus nasi. ’’Hmm.. ditinggal ke toilet, ternyata dia makan,’’ gumamku.

Ku hampiri dia dan ikut duduk di sampingnya. Kusabet nasi bungkus di meja itu. Semua karena pengaruh lapar. Begitu dapat, Ratih kembali mengayunkan tangannya ke perutku. ’’Aduh.. selalu nyubit. Apa salahku,!!,’’ kali ini aku benar-benar kesal.

’’Aku sudah bungkusin buat kamu. Makan di motel saja. Kita pulang keburu hujan,’’ ketusnya. Aku terdiam sambil melihat ke atas. ’’Hujan??, mana mungkin. Langitnya saja cerah,’’ kataku. ’’Sudahlah, jangan membantah. Ini bungkusannya, biar aku yang bayar,’’ sambung dia.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Ratih menggandeng tanganku mengajak pergi meninggalkan kedai itu. Kami kembali berjalan menuju ke penginapan.

Di tengah perjalanan, Ratih menghentikan langkahnya. ’’Rizal, aku boleh memohon sesuatu?,’’ katanya. Kali ini wajahnya terlihat sayu. Dia menggenggam kedua tanganku memohon iba. Muncul rasa tidak tega melihat dia dalam kondisi seperti itu. ’’Asal kamu jangan nyubit lagi. Sakit tau..!!,’’ ketusku. Kali ini aku berada di posisi menang.

’’Antarkan aku ke pantai,’’ ucapnya lirih. ’’Whattt??. Malam-malam mau ke pantai. Ngapain ??,’’. Ratih menjawab, ’’Aku ingin hormat ke mendiang tunanganku. Ini yang terakhir kali. Aku mohon,’’.

’’Hmm.. baiklah, aku antar. Tapi maaf aku tidak mau kalau kamu buat aksi nyebur ke laut. Kurang kerjaan !!,’’’ ujarku. Kami pun berjalan menuju ke pantai tempat kami pertama bertemu. Memang, sebenarnya jarak antara pantai ke penginapan tidak terlalu jauh. Pagi tadi aku terpaksa menggunakan taksi karena tidak hafal jalan di Denpasar. Selain itu, berat jika berjalan kaki sambil menggendong perempuan cerewet itu.

Sekitar 20 menit kami berjalan, akhirnya sampai ke pantai itu. Sepi dan gelap, itu suasana yang kami temui di sekitar pantai tersebut.

TERKAIT:  Pertemanan

Ratih bergegas menuju ke pantai itu. Aku tetap berdiri lantaran malas mendekati pantai itu. Anginnya cukup kencang, selain itu tidak ada pemandangan yang bisa dinikmati.

Namun, Ratih memanggilku. Dia mengajakku untuk mendekat ke pantai itu. Dengan halus kutolak ajakan itu. Tapi dia kembali memohon. ’’Baiklah, tapi jangan terlalu lama. Perutku lapar. Aku mau makan nasi bungkus ini,’’ alasanku.
Kulangkahkan kaki menghampiri perempuan itu. ’’Duduk yuk, ‘’’ ajak Ratih. Senyumnya mulai muncul. Kami berdua duduk berdampingan melihat pantai.

’’Rizal, ada hal yang ingin aku ceritakan ke kamu. Tentang peristiwa tadi pagi dan mengapa aku mengajakmu ke tempat ini,’’ katanya. ’’Aku tahu kok. Karena kamu jomblo, gak punya teman di kamar, dan kurang kerjaan. Makanya aku yang kamu anggap tolol, terus mau saja diajak ke sini,’’ jawabku iseng.

’’Plak !!,’’ tamparan itu mengenai pipiku. ’’Astaga… sakit tau !!. Kan  tadi janji nggak nyubit lagi,’’ protesku. ’’Hei, bang bro.. ane kagak nyubit. Tapi ane nampar pipi ente,’’ katanya dengan meniru logat betawi. ’’Awas kamu ya,’’ kataku sambil beranjak dari tempat duduk itu.

Namun, belum sempat pergi, tangan Ratih menarikku. ’”Tolong. Kali ini aku serius. Temani aku,’’ katanya. Aku pun duduk kembali. Ratih lalu mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Dia sandarkan kepalanya di bahuku.

’’Setahun aku hidup tanpa arah. Sejak kehilangan Ronald, aku merasa hidupku tak berarti. Bahkan aku menilai Tuhan tidak adil,’’ katanya. ’”Ketika sepasang kekasih sudah saling mencintai, kenapa begitu mudah dipisahkan,’’ sambungnya.

Dia melanjutkan ceritanya. ’’Kemarin aku tiba di Denpasar. Aku langsung menuju ke tempat ini. Perjalanan yang tak pernah aku rencanakan,’’ katanya. Aku terus menyimak. Ternyata, di balik kekasarannya padaku, ada kisah pilu yang masih dia rasakan hingga sekarang.

’”Rizal, pagi tadi aku melihat bayangan kekasihku di pantai ini. Dia memanggilku. Aku berjalan menghampirinya,’’ ujarnya. ’’Namu tiba-tiba dia melambaikan tangan sambil mengatakan akan ada seorang lelaki yang menolongmu,’’ sambungnya. ’’Aha.. ngarang cerita ya,’’ kataku menyela.

Aku menebak, cerita itu hanya akal-akalan untuk membuatku terbuai. Tapi hal itu tidak membuatku terlena. ‘’Non, aku sudah kebal dengan bualan perempuan. Maaf, ujung-ujungnya minta tolong. Maaf lagi, tidak jarang urusan duit,’’ ucapku.

Ratih terdiam dan menangis. Aku pasang wajah cuek. Awalnya aku meyakini semua itu hanya aksi dia  untuk mengecohku.

’’Rizal, aku bukan perempuan seperti yang kamu bayangkan. Sedikit pun aku tidak berpikir materi. Salah jika kamu menilaiku tentang itu,’’ kalimat itu membuatku terdia. Sepertinya aku memang salah bicara. Dia lalu berlari pergi meninggalkanku.

Akhirnya kami kembali ke penginapan masing-masing. Ada sedikit perasaan bersalah karena telah kasar terhadapnya. Ingin meminta maaf, tapi aku urungkan. Aku pikir dia sudah tidur. Biar esok hari aku akan datang ke kamarnya untuk meminta maaf.

***

Sinar mentari mulai masuk ke kamar melalui celah jendela. Kulihat jam di hp ku menunjuk angka 05.00. ’’Hmm, sudah pagi ternyata,’’’ gumamku.

Aku bangun dan menuju ke kamar mandi. Setelah berbenah diri, muncul dalam benakku tentang Ratih. Bagaimana kabar dia pagi ini. Apakah masih marah kepadaku ?

Bergegas aku keluar kamar dan menuju ke penginapannya. Pintu kamar 106 aku ketuk. Namun tidak ada jawaban dari dalam. Penasaran kubuka pintu itu. ’”Oh ternyata tidak dikunci,’’ batinku.

TERKAIT:  Pertemanan

Tidak ada seorang pun di kamar itu. Ku panggil nama Ratih berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Kutengok kamar mandi, tidak ada orang di sana. Kondisi kamar juga rapi. Sprei masih tertata. Hanya sepucuk surat dan kotak kecil yang berada di meja itu.

Kuambil surat dan kotak yang berisi cincin. Aku penasaran, cincin siapa yang tertinggal di meja kamar Ratih. Kubuka amplop dan kubaca tulisan di surat itu.

’’Rizal, aku kecewa dengan kata-katamu semalam. Maafkan aku yang sudah kasar dan jahat sama kamu. Asal kamu tahu saja, tidak pernah terlintas dalam benakku membual dan mendapatkan uang dari seorang laki-laki. Aku memang bukan orang kaya, tapi aku juga bukan perempuan yang berdandan cantik untuk menarik mata pria hidung belang. Kalimatmu sungguh menyakitkan.

Aku berterima kasih atas pertolongan mu pagi itu. Halusinasiku mengantarkan takdirku untuk bertemu dirimu. Sesuai pesan kekasihku sesaat sebelum dia meninggal. Kelak, akan ada seorang lelaki yang lebih pantas mendampingiku. Cincin itu adalah tanda pertunangan kami. Dia memintaku untuk menyerahkan cincin itu kepada pria penolongku.

Awal melihatmu menolongku, aku terkejut. Apakah pria ini yang disiratkan dalam pesan terakhir sang mendiang. Aku juga tidak bisa menerima lelaki itu dengan mudah. Karena itu, sejak awal aku berusaha bersikap jahat kepada mu. Bersikap kasar dan menjengkelkan. Aku yakin, ada rasa kesal dalam benakmu. Aku minta maaf. Semua itu kulakukan untuk menjajaki seberapa dalam kesabaranmu menghadapiku.

Lalu di kedai makanan, meski dalam kondisi lapar, kamu tetap bersedia mengikutiku. Aku yakin, jika kamu lelaki egois, bisa saja kamu bertahan dan tetap makan nasi bungkus itu. Tapi kamu benar-benar bisa mengerti aku.

Karena itu, aku mengajakmu ke pantai. Maksud hati ingin mengenalkanmu kepada mendiang kekasihku. Cincin itu seharusnya aku sematkan di tanganmu tadi malam. Aku tidak berharap banyak bisa menjadi kekasihmu. Aku hanya menyampaikan pesan orang yang aku cintai.

Namun, belum sempat aku menyampaikannya, kamu sudah salah paham terlebih dahulu. Rizal maafkan aku. Bersama surat ini aku sertakan uang sebagai ucapan terima kasih dan biaya penginapan ini. Aku tidak mau berhutang materi kepadamu. Sebab aku bukan perempuan yang selalu mengharapkan materi dari orang lain. Apalagi lelaki yang baru aku kenal. Terima kasih Rizal..’’

Aku terkejut membaca tulisan itu. ’”Ya Ampun. Betapa jahatnya mulut ini,’’ gumamku. Kulangkahkan kakiku keluar menuju lobi penginapan. Begitu sampai di depan receptionist. ’’Pak, anda yang datang dengan perempuan kemarin pagi ya,’’ sapa penjaga hotel itu. ’’Ada apa, ’’tanyaku.

Pria penjaga yang kuketahui bernama Wayan itu menceritakan setibanya perempuan itu dari pantai, tidak lama langsung keluar dari kamar. Dia memesan taksi ke arah bandara. ’”Kasihan dia. Jika bapak masih mencintai dia, kejarl. Jangan hanya karena emosi, hubungan asmara kalian kandas,’’ ucap dia.

Aku tidak mempedulikanya. Karena aku bukan kekasihnya. Namun tetap saja ada rasa menyesal karena perkataanku dia pergi dan sakit hati.
Ada hal aneh yang terjadi pada diriku. Kepergiannya serasa ada yang hilang. Kucoba membuang perasaan itu, tapi tetap saja menghantui. Hingga akhirnya kuputuskan untuk kembali pulang meninggalkan Bali.

TERKAIT:  Pertemanan

***

Malam ini, aku kembali di tempat ini. Tentu bukan kali pertama aku berdiam diri di pantai ini. Setiap akhir tahun, aku pasti mendatangi pantai tempat aku pertama dan terakhir bertemu Ratih. Tujuannku satu, aku ingin meminta maaf kepadanya. Kesalahpahaman yang membuat hidupku tidak tenang.

Setiap hari aku selalu memikirkannya. Berkali-kali kucoba mencari jejaknya. Termasuk melalui media social internet. Namun tidak sekalipun aku menemukannya. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, kuputuskan untuk selalu mengunjungi pantai ini setiap ulang tahun kematian tunangannya itu. Aku yakin, suatu saat aku akan bertemua dengannya lagi.

’’Aku pikir, kamu sudah lupa dengan tempat ini,’’ suara itu mengejutkanku. ’’Kamu terlihat kurusan. Tapi lebih cakep jika dilihat dari belakang,’’ sambungnya.

Kutahan kepalaku untuk menoleh ke arahnya. Tapi aku yakin sekali pemilik suara ini adalah perempuan yang bertemu dengan ku di pantai ini. Ku dengar suara langkahya semakin mendekat. Hingga akhirnya kubalik badan dan ternyata memang benar. Perempuan yang dulu kasar dan tomboy itu benar-benar berubah.

Dia mengenakan kemeja putih berpadu blazer hitam. Lalu rok sedikit di atas lutut yang kontras dengan warna kulitnya. Rambutnya pun masih tetap hitam panjang terurai. Ratih.. ya.. perempuan itu memang Ratih. Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum kepadaku.

Aku terpaku sejenak dan langsung memeluknya. Seketika itu, air mata mengucur. ‘’Bertahun-tahun aku mencarimu untuk meminta maaf. Aku baru sadar setelah membaca surat dari mu. Maafkan aku,’’ ucapnya.

Kuakui perkenalan yang singkat itu memberikan kesan. Begitu juga dengan cincin yang kusimpan bertahun-tahun itu. Semua kenangan membuatku jatuh cinta kepadanya. ‘”Ratih,. Aku minta maaf,’’ seruku.

Dia lepas pelukanku sambil berkata. ’’Sudah lama aku melupakan itu. Tapi aku tidak melupakan kenangan kita. Kesalahpahaman dalam hubungan manusia itu biasa. Aku hanya ingin meminta cincin yang pernah kutitipkan kepadamu,’’ katanya. ’’Aku akan memasangkan pada jari lelaki yang akan menjadi pendampingku,’’ kalimat itu membuatku terkejut.

Aku hanya bisa menunduk. Pantas jika dia memperlakukanku seperti ini. Sebab, cincin ini tidak selayaknya untukku. Tapi untuk pria yang bisa menghormatinya. Kuambil kotak cincin itu dan kuserahkan kepadanya.

Perlahan Ratih membuka kotak dan mengambil cincin itu. Sementara aku berbalik mengarahkan padanganku ke deru ombak pantai. Aku tidak peduli lagi dengan urusan Ratih dan cincin itu.

Namun tiba-tiba, kurasakan tangan lembut menarik jemari tangan kiriku. Kuarahkan pandanganku ke arah tangan itu. Kulihat, kedua tangan Ratih berusaha memasukkan cincing itu ke jari manisku. Aku bagai orang tolol yang tak tahu artinya.

’’Mulai sekarang aku memanggilmu Mas Rizal. Di pantai ini ada sang penjaga yang kenal akrab dengan ku. Dia selalu mengabarkanku setiap mas datang ke pantai ini. Selalu di setiap awal pertemuan kita. Membawa bunga mawar dan menggenggam cincin itu,’’ kata Ratih.

‘’’Aku sangat meyakini, pesan mendiang bukan sekadar halusinasi. Tapi Takdir Tuhan yang disampaikan melalui dia. Aku minta maaf baru sempat menemui mas sekarang. Mas mau kan jadi pendampingku…??.

Kupeluk erat dia dan seerat mungkin. ’’Aku gak mau berpisah lagi dengan mu,’’